Percakapan Cebong dan Kampret




Malam itu kopi hitam yang ditemani oleh sebatang rokok begitu nikmat kurasakan. Aku bersama Ghani takzim mendengarkan dan berdikusi dengan Cebong. Hal yang sedari tadi kami bicarakan adalah tentang kaderisasi yang ideal untuk negara sebesar Indonesia.

Kaderisasi pemimpin negara harus kita sadari menjadi tonggak yang cukup krusial dibentuk sedini mungkin. Tokoh-tokoh besar akan lahir dari kaderisasi yang sempurna, dan nantiknya merekalah yang memegang posisi penting dalam kepemimpinan negara ini.

“Kaderisasi bukanlah dimulai dari ketika seseorang memegang amanah dalam suatu keorganisasian, jiwa kepemimpinan itu bahkan telah terjadi dari sekolah dasar, atau malah sebelum itu”. Ungkap Ghani selepas menghembuskan gebulan asap rokoknya. “Jadi jika kita membicarakan kaderisasi perlu dimulai dengan proses pendidikan terlebih dahulu”. Sambung Ghani berkata seperti para ahli pendidikan di TV yang bahkan belum pernah terjun untuk mengajar sebelumnya.

“Pendidikan seperti apa dulu? Jika kita membicarakan pendidikan itu harus ditarik lebih dasar lagi, karena sekolah sebagai wadah pendidikan pun tidak tepat dalam mendidik sesuai kemampuan dan minat dari masing-masing manusia yang berbeda”. Ungkap Cebong kelihatan sambil berfikir tajam. “Setiap anak boleh mengembangkan minat dan bakat mereka, tapi untuk lulus mereka harus sesuai dengan standar akademis yang ditetapkan oleh pemerintah yang sok tau soal pendidikan”

“Itulah mengapa dulu saya begitu frontal menolak adanya Ujian Nasional (UN) yang mencetak manusia seperti robot pintar tanpa mengerti kepemimpinan”. Cebong masih berceloteh dengan teori-teori sok taunya.

Sejenak konsentrasi kami buyar karena kedatangan Kampret yang entah dari mana. Dengan membawa Tahu Bulat ditangan, dia langsung duduk sambil nimbrung ikut berdiskusi bersama. Tapi karena adanya makanan diskusi tidak akan bisa berjalan dengan semestinya sampai Tahu Bulat itu raib tanpa sisa.

Setelah menghabiskan satu kantong Tahu Bulat Kampret langsung berinisiatif memantik diskusi untuk kembali berjalan. “Peraturan Mentri saat ini seperti telah memberi angin segar kepada organisasi ekstra kampus untuk membali ikut dalam mengkader mahasiswa-mahasiswi kampus”. Tuturnya dalam membuka diskusi untuk kembali berjalan.

“Disaat banyak mahasiswa alergi dengan kata organ ekstra seperti saat ini, entah itu solusi yang baik atau malah membuat perpecahan timbul di setiap kampus”. Lanjut Kampret berbicara. “Namun pemerintah sudah memberi batasan dengan memutuskan untuk membuat lembaga baru di kampus agar menjaga ideologi pancasia, agar organ ekstra tetap berjalan sesuai jalur yang ada”. Ungkap Cebong seperti kurang terima dengan pernyataan Kampret tadi.

“Nah hal tersebut malah menjadi absur untuk menjalaninya, organ ekstra pastinya memiliki idiologi yang berbeda-beda, dengan tambahan peraturan tersebut malah seakan mengisyaratkan agar organ ekstra harus satu jalur dengan pemerintah, hal tersebut jelas bertolak belakang dengan kebebasan yang dijunjung tinggi oleh organ ekstra yang ada”. Balas Kampret menanggapi itu.

“Peraturan tersebut seperti membebaskan organ ekstra sekaligus mengekang kebebasan mereka. Pemerintah memang hebat dalam membuat peraturan satire”. Ungkap Kampret membalas tanggapan Cebong.

“Terlepas dari itu ada hal yang perlu menjadi konsen kita, yaitu banyaknya mahasiswa yang begitu alergi dengan kata organ ekstra”. Ungkap Cebong yang lebih tertarik tentang hal itu.
“Hal tersebut jelas karena organ ekstra membawa pemikiran-pemikiran partai politik kedalam kampus, sehingga rawan untuk memberikan politik praktis dalam kehidupan kampus”.  Jelas Kampret.

“Namun idealnya organ eksra itu memang harus dikawal pelaksanaanya bukan malah di takuti” jawab Cebong. “Bagaimanapun juga angota organ ekstra tersebut adalah mahasiswa kampus, jika memang organ ekstra memiliki hubungan yang erat dengan partai politik, itu adalah hal wajar, karena partai politik memang harus mengkader anggota sebagai penerusnya, kalau bukan dari organ ekstra lalu dari mana lagi mereka mengkadernya?” lanjut Cebong berbicara.

“Namun tetap saja dengan peraturan tersebut jelas-jelas menguntungkan orang-orang sepertimu Cebong, yang ikut organ ekstra yang nasionalis, bagai mana dengan organ ekstra lain yang agamis? Jelas peraturan itu ingin menyetarakan organ ekstra sama dengan organ ekstra nasionalis”. Tutur Kampret tetap tidak setuju dengan Cebong.
“Setidaknya aku dengan sadar memilih organisasi yang sesuai dengan ideologiku, dan aku diberikan pendidikan politik disana” tutur Cebong membela. “Daripada kamu yang hanya ikut organisasi kepanitiaan kampus, tanpa diajari pendidikan politik, hal itu jelas menumpulkan jiwa kepemimpinan yang ada pada mahasiswa, jadi wajar banyak mahasiwa tidak mengerti politik kampus, namun mahir jadi Event Organizer (EO)” sambung Cebong menjawab.

“Menurutku kaderisasi ideal sesorang berbeda-beda, dengan melaksanakan dan memimpin pelaksanaan suatu acara tentu merupakan proses pembentukan jiwa kepemimpinan” bela Kampret. “Bukan masalah pelaksanaan acaranya, tapi masalah proses yang terbentuk dari pelaksanaan acara tersebut. Pastinya proses dari awal sampai berakhirnya suatu acara menyimpan sejuta pembelajaran untuk melatih jiwa kepemimpinan yang sedari tadi kita bahas” sambung Kampret.

Perdebatan demi perdebatan terus silir berganti antara Cebong dan Kampret. Entah kapan diskusi berat dengan asas sok tau ini berakhir. Mungkin setahun kedepan baru berhenti, atau akan terus berlanjut sampai periode kekuasaan yang baru berakhir.

Aku dan Ghani tetap takzim mendengarkan dan menunggu apapun yang akan terjadi. Tak pernah terlintas dibenakku diskusi ini akan sampai pada tahap kesimpulan dan mereka saling satu sepakat. Bukan hasil yang aku harapkan dengan duduk takzim ini, tapi proses yang penuh pembelajaran yang akan kudapati.

“Sepertinya Kampret dan Cebong memang tidak pernah akur, sehingga perpecahan memang identik dengan kedua orang tersebut”. Tutur Ghani berbisik kearahku, sambil tetap mendengarkan. Akupun hanya diam tanpa komentar dan lanjut mendengarkan.
Dalam hati aku berbisik lirih “bukan perpecahan yang aku liat, bukan juga saling benci yang mereka sampaikan, tapi mereka saling menyayangi. Bentuk diskusi yang mereka tampilkan adalah bentuk kemesraan yang disalah tafsirkan oleh kebanyakan orang”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Butuh Gus Dur Sekarang

Korupsi Adalah Kita

Kenapa Rakyat Mau Jadi Wakil Rakyat?